A. Sejarah Kata Tuhan dan Pengertiannya
Istilah “ Tuhan” merupakan kalimat yang teradopsi dari beberapa akar kata dari keyakinan dan ajaran orang-orang kafir lagi musyrik. Bahwasanya diperkirakan keyakinan “tu” dimana suatu ketika menyebar sampai ke daerah Melayu, mendapatkan imbuhan “han”, sehingga menjadi “Tuhan”. Kata tersebut dimulai pada tahun 5000 sm, berpangkal dari asia tengah, yang mungkin juga dianut oleh rasa mongoloid purba, yang merupakan nenek moyang dari rasa Cina, Tibet, dan Jepang. Penguasa sekalian alam menurut mereka itu adalah ”tu” yang sifat esa, tidak berawal dan tidak berakhir. Berikut ini dipaparkan tentang ajaran dalam memahami Tuhan:
1. Menurut ajaran Cina
Adalah ajarannya:” dalam segala benda ada ‘tao’, ‘tao’ sendiri bukan benda, dalam segala kejadian ada ‘tao’, jika suatu kejadian berakhir,’tao’ tetap kekal abadi. Ada dengan tiada tetap betautan, tak pernah bercerai, bermula terjadilah langit lalu bumi, keduanya diam keduanya. Sunyi ia,’tao’ ada bersendiri dan tak pernah berubah. Orang memandangnya, namun tak melekatnya, namanya ‘ie’ (samar), orang mendengarnya namun tak menyimaknya, namanya “hie’ (halus), orang mencapainya namun tak berpegang, nama ‘wie’.
2. Menurut Ajaran Jepang
Adalah ‘to’ itu pangkal kejadian, bila kejadian itu berakhir,’to’ tetap kekal abadi dan jalan itu adalah jalan pada ‘to’ (sinto).
3. Menurut ajaran Beun di Tibet
Ketika’taon’ hendak menciptakan alam, tetapi tak ada yang patut yang diberikan melainkan dirinnya, maka ‘taon’ pun meleburkan dirinya dalam alam sambil berpesan “aku adalah Engkau dan Engkau adalah Aku”, di Korea ‘taon’ disebut ‘teoh’.
Demikianlah sejarah akar Tuhan yang diambil dari beberapa ajaran yang apabila diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia akan menjadi kata Tuhan. “tidak ada satu sumber keterangan pun yang mengaitkan bahwa kata “Tuhan” berasal dari pecahan bahasa Arab dan dapat dipastikan pula berdasarkan keterangan sejarah kata ‘Tuhan’ tersebut mengindentifikasi bentuk kemusyrikan karena di dalamnya memiliki keyakinan adanya pencipta selain Allah SWT” (Abu Ghazi, dkk, 2007: 173)
Kata “Tuhan” dalam bahasa Indonesia, dimana memiliki arti yang berdekatan dengan “tuan” yang berarti “majikan” atau “pemilik,” seperti tuan rumah yang berarti pemilik rumah.
Imaduddin Abddurrahim, Ph.D mendefiniskan Tuhan sebagai segala sesuatu yang dianggap penting dan dipentingkan sehingga dirinya rela didominirnya. Dalam islam dikenal dengan istilah Illah. Illah adalah Tuhan dalam artian sebagai yang di sembah, tempat kita memohon. Ini yang membedakan seseorang apakah muslim atau bukan. Seseorang bisa memiliki sesembahan berhala (kaum paganis), atau api (zoraster) atau matahari dan masih banyak lagi. Tauhid yang sempurna berkaitan dengan pengakuan, pelaksanaan dan kesadaran bahwa hanya Allah yang kita sembah, sebab tanpa sadar kadang seorang muslimin tertipu sehingga menyembah hal-hal lain seperti kepada kuburan, batu atau hal-hal yang lebih abstrak seperti kekayaan dan kekuasaan. Hal-hal tersebut yang disebut sebagai musyrik atau menyekutukan Allah. Implikasi lain yang berkaitan dengan pengakuan bahwa Allah sebagai Ilah adalah kewajiban untuk berhukum hanya dengan hukum (aturan) Allah.
Menurut Imam Muhammad Baqir ra menjelaskan, “Allah” maknanya “Yang Disembah” yang agar makhluk (aliha, tidak mampu atau bingung) mengetahui Esensi-Nya (Mahiyah) dan memahami Kualitas-Nya (Kaifiyah). Orang Arab mengatakan, ‘Seseorang tercekam (aliha) jika ia merasa bingung (tahayyara) atas sesuatu yang tidak dapat dipahaminya, dan orang itu terpukau (walaha) jika ia merasa takut (fazi’a) kepada sesuatu yang ia takuti atau khawatirkan.
B. Konsep Tentang Ketuhanan
Berkaitan dengan hal ini ada beberapa tentang konsep tentang ketuhanan, berikut ini:
1. Konsep Ketuhanan Dalam Filsafat Iluminasionis
Filsafat Iluminasi diarahkan pada sasaran yang bersifat teoretis di samping sisi praktis yang dapat dicapai, arah tersebut dimulai dengan penyucian diri dari segalala kotoran, baik secara ruhani ataupun jasmani. Langkah ini ditempuh sebagai tahapan awal penjalinan hubungan dengan Cahaya Murni-kesepuluh yang menjadi medium antara dunia materi dan imateri.
2. Konsep Ketuhanan Dalam Filsafat Shadrian
Menurut Mulla Sadra tentang Tuhan yang sangat dalam ini beserta argumen shiddiqinnya merupakan hasil dari perjalanan panjang peradaban ilmu Ilahi manusia dan evolusi pemikiran filosofis dalam dunia Islam. Puncak kulminasi pemikiran filsafat ini, secara sempurna mempertemukan wahyu sebagai teks suci Tuhan dan semua aliran pemikiran filsafat dan teologi.
Dalam mazhab pemikiran Mulla Sadra, wujud makhluk, jika dibandingkan dengan wujud Tuhan bukanlah wujud yang hakiki. Makhluk disebut sebagai bayangan, citra dan manifestasi. Makhluk ini secara hakiki tak menampakkan dirinya sendiri tapi menampakkan Tuhan. Makhluk adalah citra Tuhan, bayangan Tuhan dan manifestasi Tuhan. Makhluk bukanlah sesuatu wujud mandiri dimana dengan perantaraannya Tuhan tercitrai dan terbayangkan, tetapi dia adalah citra dan tajalli Tuhan itu sendiri.
3. Konsep Ketuhanan Dalam Filsafat Peripatetik
Peripatetik adalah sebagai filsafat yang mendasarkan prinsipnya pada bentuk silogisme-Aristotelian yang sangat rasional. Adapun tokohnya yang terkenal adalah Ibn Sina. pendekatan kaum Peripatetik adalah lebih mendahulukan rasio dan memarjinalkan intuisi dan imajinasi yang tersimpan dalam jiwa manusia. Dalam tataran konsep Peripatetik tentang Tuhan adalah pembuktian wajibul wurud (Tuhan, mesti-ada dengan sendirinya) dan mumkinul wujud (makhluk, mesti-ada dengan selainnya).
C. Wujud Allah
Wujud atau adanya Allah. Bukanlah perkara sukar yang harus dicari dengan jalan-jalan berbelit-belit. Tabiat manusia dan perjalanan hidupnya kemana pun tujuan jalannya dan di mana pun perhatiannya di sana dia akan bertemu adanya tuhan. Bahwasanya orang yang ingkar akan adanya Allah adalah orang yang rugi, karena ia kehilangan pegangan hidup. Al-Husaya ibn al-Qasim ibn Ibrahim bertanya kepada ayahnya , bagaimanakah kita menjawab pertanyaan kaum zindiq dan orang kafir mengenai bukti adanya Allah, Tuhan semesta alam?, lalu ayahnya menjawab “ cara yang aman (untuk memperoleh pengetahun mengenai Allah dan jalan masuk terdekat yang diciptakan oleh Allah dan tanda-tanda ciptaan-Nya yang diwujudkan-Nya di dalam segala sesuatu. Allah SWT berfirman:
Artinya :”6. Yang demikian itu ialah Tuhan yang mengetahui yang ghaib dan yang nyata, yang Maha Perkasa lagi Maha Penyayang.7. Yang membuat segala sesuatu yang dia ciptakan sebaik-baiknya dan yang memulai penciptaan manusia dari tanah.8. Kemudian dia menjadikan keturunannya dari saripati air yang hina.9. Kemudian dia menyempurnakan dan meniupkan ke dalamnya roh (ciptaan)-Nya dan dia menjadikan bagi kamu pendengaran, penglihatan dan hati; (tetapi) kamu sedikit sekali bersyukur.
Eksistensi Tuhan adalah salah satu masalah paling fundamental manusia, karena penerimaan maupun penolakan terhadapnya memberikan konsekuensi yang fundamental pula. Alam luas yang diasumsikan sebagai produk sebuah Kekuatan Yang Maha Sempurna dan Maha Bijaksana dengan tujuan yang sempurna berbeda dengan alam yang diasumsikan sebagai akibat dari kebetulan atau insiden.
Dari hal tersebut ada beberapa cara untuk mengetahui eksistensi Allah:
1. Pengetahuan mengenai Allah dan pencapaiannya harus diperoleh secara langsung melalui panca indera.
2. Pengetahuan mengenai Allah dan pencapaiaannya melalui jiwa.
Bahwasanya jika Dia dikenal atau diketahui melalui (indera dan jiwa), maka akan berakibat fatal sebab Dia akan disifati oleh sifat yang dimiliki melalui pengetahuan kedua tersebut. Karena segala sesuatu yang ditangkap indera, meski berbeda dari jiwa yang akan dipahami akan pasti akan menjadi sesuatu yang rentan dan fana.
3. Pengetahuan mengenai Allah SWT, melalui imajinasi
Adalah tidak sah, karena Dia diserupakan dengan kehampaan alam khayal dari tubuh
4. Pengetahuan hipotetik mengenai Allah
Adalah mungkin dan dapat terjadi, karena dugaan itu terkadang benar dan keliru.
5. Dengan bukti yang berada dan terutama di dalam hati
Ini adalah kebenaran dan tidak ada orang yang tidak sependapat mengenai hal ini.
6. Dengan hanya salah satu dari cara-cara di atas
Hal ini sesuatu hal yang mustahil dan tidak sah mengenai-Nya.
7. Dengan seluruh cara yang disebutkan dan dijelaskan di atas
Inilah hal yang paling mustahil yang ada dalam pikiran sebab dengan menggabung
8. Melalui keberadaan Dia dari segala sesuatu.
Hal ini merupakan pengetahuan yang paling murni dan paling benar yang melalui cara itu makhluk yang berakal akan mengenal Dia yang Maha Suci.
Allah SWT mengajarkan manusia untuk mengenal-Nya dengan pasti sebagaimana dalam Al-Qur’an dalam surah Yunus ayat 31-31:
“31. Katakanlah: “Siapakah yang memberi rezki kepadamu dari langit dan bumi, atau siapakah yang Kuasa (menciptakan) pendengaran dan penglihatan, dan siapakah yang mengeluarkan yang hidup dari yang mati dan mengeluarkan yang mati dari yang hidup[689] dan siapakah yang mengatur segala urusan?” Maka mereka akan menjawab: “Allah”. Maka Katakanlah “Mangapa kamu tidak bertakwa kepada-Nya)?”32. Maka (Zat yang demikian) Itulah Allah Tuhan kamu yang Sebenarnya; Maka tidak ada sesudah kebenaran itu, melainkan kesesatan. Maka bagaimanakah kamu dipalingkan (dari kebenaran)?”
Dari ayat tersebut para Mufassirin memberi memberikan perumpamaan untuk ayat ini dengan mengeluarkan anak ayam dari telur, dan telur dari ayam. dan dapat juga diartikan bahwa pergiliran kekuasaan diantara bangsa-bangsa dan timbul tenggelamnya sesuatu umat adalah menurut hukum Allah.
“Bahwasanya bukti mengenai (eksistensi Allah adalah melalui petunjuk-petunjuk dan melalui makhluk yang diciptakan-Nya yang menjadi bukti (dalil) adas Diri-Nya sendiri”
D. Sifat dan Perbuatan Tuhan
Adapun yang dimaksud dengan “sifat” pada pembahasan kita kali ini adalah kata yang dinisbahkan kepada Tuhan dan terpredikasi pada dzat Ilahi.
Dalam pembahasan dalam wilayah ilmu Kalam (teologi), maka yang penting bagi kita adalah makna istilah sebagaimana yang dimaksud oleh para teolog atau mutakallim. Dalam literatur ilmu kalam, istilah “sifat Ilahi” lebih banyak digunakan. Istilah ini terkadang digunakan sama dengan asma (nama-nama). Kata-kata seperti ‘âlim, ‘alîm“, qâdir, hayyu, dan murîd dan sebagainya, dikategorikan sebagai sifat dan asma Ilahi. Kadangkala terdapat pula perbedaan antara sifat dan asma Tuhan ini dimana berdasarkan hal tersebut, kata-kata semacam ‘ilm, kodrat, hayât dan sebagainya, adalah merupakan sifat-sifat Tuhan sedangkan kata-kata seperti ‘âlim, ‘alîm, qâdir, hayyu dan sebagainya merupakan asma Tuhan.
Bisa dikatakan bahwa di antara semua itu terdapat pula istilah lain dimana maksud dari ism (nama) adalah kata yang menunjukkan nama khusus Tuhan, sedangkan sifat adalah kata yang menghikayatkan sifat-sifat Tuhan. Berdasarkan istilah ini, jumlah asma Tuhan menjadi sangat sedikit dan hanya berkisar pada kata-kata semacam Allah dalam bahasa Arab dan Khudâ dalam bahasa Persia (atau Tuhan dalam bahasa Indonesia,), akan tetapi sifat-sifat Tuhan sangat banyak dan kata-kata semacam ‘âlim, hayyu, murîd, qâdir, dan sebagainya, seluruhnya termasuk dalam sifat-sifat Tuhan. Allah SWT berfirman:
“Hanya milik Allah al-asma’-al-husna, maka bermohonlah kepada-Nya dengan menyebut al-asma’-al-husna itu dan tinggalkanlah orang-orang yang menyimpang dari kebenaran dalam (menyebut) nama-nama-Nya. Nanti mereka akan mendapat balasan terhadap apa yang telah mereka kerjakan” (Qs. Al-A’raf 180).
Ibnu Abi Hatim meriwayatkan dari Ibnu Abbas r.a. tentang maksud firman Allah yang bermaksud: “menyelewengkan Asma Nya” ia mengatakan, bahawa maksudnya adalah: “berbuat syirik ( dalam Asma Nya), iaitu orang-orang yang menjadikan Asma-asma Allah untuk berhala mereka, seperti nama Al Lata yang berasal dari kata Al Ilah, dan Al Uzza dari kata Al Aziz “.
Berkaitan dengan perbuatan tuhan di sini penulis paparkan ada dua hal, pertama, berkaitan perbuatan Tuhan secara umum, yakni berkaitan dengan hukum-hukum perbuatan sendiri, kedua berhubungan perbuatan khusus seperti perbuatan memberikan petunjuk (hidayah) dan menyesatkan (dhalâlah) Tuhan.
KESIMPULAN
Masalah ketuhanan tidak bisa dipisahkan dari kehidupan manusia. Sadar atau tidak, semua orang pasti bertuhan dan melakukan penyembahan terhadap tuhannya itu. Persoalannya adalah tuhan yang disembahnya itu apakah Tuhan yang sebenarnya, yaitu Tuhan yang mencipta dan mengatur alam semesta, atau tuhan yang justru diciptakan oleh manusia.
Dalam perspektif Islam, pengakuan adanya Tuhan sudah ada pada diri manusia semenjak dia belum dilahirkan.
“Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman): “Bukankah Aku ini Tuhanmu?” Mereka menjawab: “Betul (Engkau Tuhan kami), kami menjadi saksi”. (Kami lakukan yang demikian itu) agar di hari kiamat kamu tidak mengatakan: “Sesungguhnya kami (bani Adam) adalah orang-orang yang lengah terhadap ini (keesaan Tuhan)” (Qs. Al-A’raf 172).